Saat ini perekonomian global sedang mengalami resesi akibat pandemi COVID-19. Dampak pandemi COVID-19 mulai terasa yang terefleksi di triwulan II. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian nasional triwulan II terkontraksi -5,32% year to year (y-on-y) menurun 1,26% cumulative to cumulative (c-to-c) dibandingkan triwulan I tahun 2020. Kontraksi dimaksud terjadi pada hampir semua lapangan usaha dengan kontraksi pertumbuhan tertinggi berasal dari transportasi dan pergudangan diikuti dengan sektor akomodasi dan makan minum.
Komponen pertumbuhan ekonomi nasional triwulan II 2020 terhadap triwulan II 2019 (y-on-y) mengalami pertumbuhan negatif pada konsumsi rumah tangga -7,76%, investasi -8,61%, dan ekspor barang dan jasa -11,6%. Demikian pula dengan komponen impor yang merupakan faktor pengurang dalam Produk Domestik Bruto (PDB) menurut pengeluaran mengalami kontraksi -16,96%. Pertumbuhan negatif di hampir semua komponen pembentuk PDB mengakibatkan pertumbuhan negatif pada ekonomi Indonesia yang sebagian besar ditopang oleh konsumsi (consumption-driven). BPS juga mencatat untuk ekonomi triwulan II terhadap triwulan I (q-to-q), satu-satunya komponen PDB yang tumbuh adalah komponen pengeluaran konsumsi pemerintah sekitar 22,32%.
Obstfeld et al. (2012) dalam buku yang berjudul “Global Economic Crisis: Impacts, Transition and Recovery” menjabarkan krisis perbankan/keuangan yang pernah terjadi di dunia setidaknya terjadi pada beberapa periode di masa yang lalu yaitu di tahun 1890-1891, 1907-1908, 1913-1914, 1931-1932, 2007-2008.
Secara teori dan empiris, dalam masa ekonomi lesu akibat pandemi COVID-19, berbagai komponen pembentuk permintaan agregat (aggregate demand) juga merosot, yaitu konsumsi (C) menurun, investasi (I) menurun, begitu juga dengan ekspor (X) dan impor (M). Dalam kondisi seperti ini, APBN menjadi instrumen utama untuk menggerakkan roda perekonomian dan meredam dampak krisis terhadap masyarakat. Para ekonom Keynesian membuktikan bahwa dalam kondisi resesi ekonomi, intervensi pemerintah melalui belanja APBN efektif dalam menangani krisis-krisis di masa lalu. Dalam kondisi krisis, belanja negara (G atau government spending) menjadi salah satu ujung tombak pemulihan permintaan agregat dan APBN menjadi alat stabilisasi ekonomi (economic stabilizer).
Dalam penanganan dampak pandemi COVID-19, pemerintah telah meluncurkan stimulus fiskal yang mendongkrak target belanja negara tahun 2020 di tengah merosotnya pendapatan negara. Di awal tahun, pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp2.233,2 triliun. Dalam merespon penurunan kinerja perekonomian, pemerintah menetapkan Perpres No.72 tahun 2020 yang menyesuaikan/menurunkan target pendapatan negara tahun 2020 sebesar Rp533,3 triliun menjadi Rp1.699,9 triliun. Sebaliknya, pemerintah melakukan ekspansi fiskal dengan menaikkan target belanja negara di awal tahun hanya sekitar Rp2.540,5 triliun, dengan stimulus fiskal melalui Perpres No.72 tahun 2020 meningkat sekitar Rp198,7 triliun menjadi Rp2.739,2 triliun.
Jika niatan baik (kebijakan) tercermin dari peningkatan belanja negara sebagai bentuk stimulus fiskal bagi perekonomian, isu yang muncul saat ini adalah realisasi dari belanja APBN yang berada pada tahapan pelaksanaan anggaran. Stimulus fiskal tidak dapat tercapai dengan baik tanpa pencairan anggaran yang cepat, tepat sasaran dan menegakkan prinsip-prinsip tata kelola keuangan yang baik. Tujuannya adalah ketidakserapan anggaran (budget underspending) tidak terjadi dikarenakan realisasi anggaran diharapkan menjadi motor perekonomian dalam krisis.
Dana APBN untuk penanganan COVID-19 dalam ranah pelaksanaan dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu dana yang sudah selesai dilakukan revisi dan dituangkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran (Daftar Isian Pelaksana Anggaran / DIPA), dana yang masih dalam proses revisi DIPA, dan dana yang menjadi usulan baru dimana masih ada dana PEN yang belum teralokasi (belum ada alokasinya) yang karena sampai dengan saat ini, belum semua total stimulus belanja yang digelontorkan pemerintah telah diakomodasi dan disesuaikan dalam dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA).
Untuk kategori dana yang sudah di DIPA-kan yakni untuk dana yang siap dieksekusi, peran kementerian teknis dan Kementerian Keuangan termasuk kantor bayar pemerintah (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara/KPPN) menjadi krusial. Dengan prinsip ‘let the managers manage’, pencairan belanja APBN oleh KPPN di seluruh Indonesia hanya bisa dilakukan jika terdapat permintaan pencairan dana dari satuan kerja kementerian teknis. Demikian pula untuk dana yang masih dalam proses revisi dan yang masih belum dialokasikan menjadi ranah Kementerian Keuangan baik Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dan Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan juga satuan kerja (satker) kementerian teknis. Dengan kata lain, keterlibatan semua pihak terkait diperlukan untuk mempercepat proses penyesuaian anggaran dan pencairan belanja pemerintah baik belanja yang sudah berlangsung (existing) maupun belanja program PEN.
Koordinasi dan komunikasi insentif antara Kementerian Keuangan dan kementerian teknis terus dibangun dalam mengakselerasi pencairan belanja APBN. Sejalan dengan hal itu, urgensi dari kecepatan pencairan belanja APBN dimunculkan di semua lini birokrasi. Pesan pimpinan Kementerian Keuangan adalah “Jalankan APBN, kejar pencairan” diharapkan dapat terlaksana di tataran implementasi belanja APBN. Tentunya dengan tetap menjaga tata kelola yang baik.
Selama ini, target anggaran (target pendapatan dan pagu belanja) jelas tercantum baik dalam Undang-Undang APBN maupun secara rinci dalam Perpres Rincian APBN dan DIPA. Dalam kondisi saat ini dimana kecepatan dan ketepatan pencairan menjadi penting, target pencairan belanja perlu juga disusun untuk memastikan pencairan dana terlaksana dengan baik. Dalam tataran makroekonomi, semakin cepat pencairan semakin cepat pula efek pengganda (multiplier effect) terbentuk. Artinya, dorongan ekonomi dari intervensi belanja pemerintah semakin nyata.
Langkah-langkah peningkatan pelayanan dilakukan oleh pemerintah untuk mengakselerasi pelaksanaan anggaran dan pencairan anggaran. Pertama, pemerintah fokus pada upaya mengurangi bottleneck dan menghindari penundaan administrasi pelaksanaan anggaran.
Untuk itu, simplifikasi dan relaksasi bukan hanya di ranah penganggaran (proses revisi anggaran), namun juga dalam tataran eksekusi anggaran telah dilakukan pemerintah. Kedua, pemerintah secara intensif meningkatkan sense of urgency dan sense of crisis terkait belanja PEN kepada seluruh pihak terkait seperti satuan kerja pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Artinya, kementerian teknis diharapkan siap untuk memenuhi semua persyaratan pencairan APBN dan bersama dengan Kementerian Keuangan berupaya memastikan kelancaran pelaksanaan anggaran.
Ketiga, pemerintah secara konsisten mengupayakan terciptanya tata kelola yang baik. Walaupun pelaksanaan anggaran berbelok arah dari ‘budget as usual’ ke ‘crisis mode’, transparansi dan akuntabilitas tetap dijaga. Kuitansi dan dokumen pertanggungjawaban penggunaan anggaran perlu selalu tersedia.
Sumber https://www.kemenkeu.go.id