Tatanan Perekonomian Global Pasca Covid 19

Cetak

Meskipun pandemi virus korona (Covid-19) belum sepenuhnya dalam kendali pemerintahan di 216 negara di dunia yang terpapar, namun kecenderungan ke depan yang perlu dicermati adalah kewaspadaan global terhadap kemungkinan munculnya kasus sejenis (pandemi) di kemudian hari. Apalagi mengingat dibutuhkan waktu cukup lama untuk bisa ditemukan vaksin pelumpuh Covid-19 ini.


Dalam perkembangannya, sudah ada beberapa negara mulai memasuki era kenormalan baru (new normal) seperti Korea Selatan, China, Selandia Baru, dan Vietnam. Sementara sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, dan Italia tengah berjuang keras menurunkan angka kasus positifnya. Jepang, Singapura, Jerman, dan Spanyol barangkali membutuhkan waktu sedikit lagi untuk bisa terlepas dari pandemi ini.


Yang menarik, kasus virus Korona kini meningkat tajam di banyak negara Amerika Latin, hal ini membuat otoritas kesehatan di kawasan itu semakin khawatir. Brasil mencatat lebih dari 250.000 kasus terkonfirmasi, jumlah terbanyak ketiga di dunia. Negara-negara lain di kawasan ini, termasuk Meksiko, Chile, dan Peru juga kewalahan dalam menekan wabah besar ini.

Dengan kasus terkonfirmasi baru di AS mulai melandai dan banyak negara Eropa melaporkan angka yang menurun, muncul pertanyaan akankah Amerika Latin menjadi episentrum pandemi Covid-19 berikutnya?.


Akhirnya, pandemi Covid-19 berpotensi mengubah tatanan perekonomian global, yaitu peran strategis AS boleh jadi akan digeser oleh China dengan berbagai pertimbangan faktualnya. AS yang sedang bergumul dengan persoalan domestiknya, sementara China sedang menata jalan baru menuju kedigdayaan ekonominya.


Pusat rantai pasokan manufaktur global barangkali juga tidak akan bertumpu hanya pada China, tapi lebih terdistribusi ke lebih dari satu negara, sehingga ketergantungan kepada satu negara tidak akan terjadi lagi seperti di masa sebelum pandemi Covid-19. Yang pasti, cengkeraman China akan lebih menguat ke kawasan Eropa, Timur Tengah, dan tentu saja Asia.


Pandemi global Covid-19 juga telah menekan volume perdagangan dunia berkisar 30%-50% karena kebijakan restriktif yang dikeluarkan oleh hampir semua negara di dunia. Semua jalur moda transportasi (udara, darat, laut) dibatasi, sehingga mendisrupsi rantai pasokan dan rantai perdagangan global.

Jalur distribusi global dan regional pun terkendala sehingga menyusutkan kapasitas produksi dan distribusi perdagangannya. Terjadi lonjakan angka pengangguran di berbagai negara yang menuntut dikeluarkannya program jaring pengaman sosial.


Di sisi lain, para petinggi pemerintahan beserta pimpinan otoritas pun dituntut cerdas dan cermat menelurkan kebijakan moneter, fiskal maupun baurannya supaya penanganan pandemi Covid-19 berjalan efektif. Kebijakan moneter longgar dengan indikasi suku bunga acuan yang rendah dikeluarkan.

Sejalan dengan itu, paket kebijakan fiskal bernilai triliunan dolar AS di gelontorkan untuk menopang sektor keuangan dan sektor dunia usaha.


Program quantitative easing (QE) dirilis oleh pemerintah AS dengan dukungan penuh bank sentralnya, The Federal Reserve Bank. Suku bunga acuan (fed fund rate) dipatok di level rendah, yakni 0-0,25% dengan paket QE senilai US$ 2 triliun melalui The Coronavirus Aid, Relief, and Economic Security (CARES) Act pada 27 Maret 2020 lalu.


Pada saat yang sama, sejumlah pemerintahan juga dihadapkan pada persoalan lama yang belum tuntas seperti risiko geopolitik, kejatuhan harga minyak dunia yang ekstrim, hingga episode perang dagang jilid berikutnya. Banyak lembaga ekonomi memberikan perkiraan pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan negatif berkisar 3-4%.


Hanya China dan India yang masih mungkin tumbuh positif berkisar 1%-2%. Indonesia mungkin masih bisa tumbuh 0,5-1,3%; namun mungkin saja minus 0,5%; bergantung lamanya pandemi dan efektivitas penanganannya.


Namun, dengan asumsi pandemi Covid-19 tuntas pertengahan tahun ini, maka proyeksi pertumbuhan ekonomi global dan sejumlah negara di 2021 akan melejit di atas realisasi capaian 2019 lalu. Pemulihan ekonomi berbentuk kurva V akan terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia.


Perubahan perilaku


Dampak pandemi Covid-19 tidak hanya menimpa sektor keuangan dan dunia usaha, melainkan juga pada sektor pertanian secara khusus. Ketika setiap negara tengah fokus pada upaya penanganan aspek kesehatan di negara masing-masing, maka mekanisme distribusi global dan regional terkait bahan baku, bahan penolong dan barang jadi untuk sektor pertanian terganggu.


Kini berkembang pandangan perlunya setiap negara menjaga kecukupan kebutuhan pangan untuk seluruh warga negaranya di saat sektor pertanian mengalami gangguan. Sebagai contoh, negara-negara eksportir beras kini mengurangi volume ekspornya karena lebih menekankan kepada kebutuhan domestiknya.

Hal seperti ini harus diwaspadai agar krisis ekonomi karena pandemi Covid-19 tidak menjalar menjadi krisis pangan di kemudian hari.


Sebaliknya, dengan kebijakan social and physical distancing, sejumlah sektor ekonomi justru mengalami lonjakan permintaan secara daring. Contohnya e-commerce, makanan dan minuman, hiburan, peralatan elektronik, dan kesehatan. Pembayaran non-tunai pun melejit melalui pembayaran digital, uang elektronik, kartu debit/kredit, mobile banking dan internet banking. Keuangan digital menjadi tren ke depannya.


Pertemuan-pertemuan virtual di tingkat global dan regional pun menggejala secara umum sehingga penggunaan perangkat teknologi informasi dan turunannya meningkat tajam.

Kondisi seperti ini akan berubah menjadi kebiasaan ketika bangsa-bangsa di dunia ini memasuki era kenormalan baru. Perilaku orang di saat pandemi akan menjadi kelaziman atau kebiasaan di era ke depan pasca pandemi, yang dikenal dengan era normal baru.


Prospek Indonesia


Bauran kebijakan moneter dan fiskal yang nilai monetisasinya berkisar Rp 2.000 triliun dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) rasanya cukup untuk dapat dioptimalkan dalam menangani pandemi Covid-19.

Kesigapan Tim Satgas Penanganan Covid-19 dengan sumber daya tenaga medis dan sukarelawan digadang-gadang mampu menunaikan tugas mulianya dengan baik sehingga pendemi ini segera lenyap dari negara ini.


Namun, upaya mereka tidak berdiri sendiri, karena masih bergantung kepada kedisiplinan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan secara ketat dan sungguh-sungguh. Sekiranya masyarakat disiplin dan patuh menerapkan protokol kesehatan, niscaya upaya Satgas Penanganan Covis-19 akan lebih cepat mencapai hasilnya.


Namun, jika masyarakat bersikap abai dan jauh dari protokol kesehatan, maka upaya tersebut bakal sia-sia.

SumberĀ https://analisis.kontan.co.id/