Peran Pajak untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia Dalam Masa Covid-19

Cetak

Pajak menjadi salah satu instrumen yang diandalkan oleh banyak negara, tidak terkecuali Indonesia, dalam merespons pandemi Covid-19. Dari kajian DDTC Fiscal Research ditemukan respons Indonesia dengan menggunakan instrumen pajak relatif progresif.


Pada awal respons, pemerintah menggunakan pajak untuk memitigasi efek wabah virus Corona terhadap perekonomian. Dengan pajak, pemerintah ingin menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan produktivitas sektor tertentu yang terdampak pandemi Covid-19.


PMK 23/2020
Respons tersebut diwujudkan dengan pemberian sejumlah insentif yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona. Beleid yang diundangkan pada 23 Maret 2020 ini berlaku mulai 1 April 2020.


Dirjen Pajak juga sudah mengeluarkan petunjuk pelaksanaan PMK itu melalui Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak No.SE-19/PJ/2020. SE Dirjen Pajak yang ditetapkan pada 31 Maret 2020 ini berlaku mulai 1 April 2020, sama seperti masa berlaku PMK tersebut.


Ada empat insentif pajak dalam PMK 23/2020. Pertama, PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah. Kedua, pembebasan PPh Pasal 22 Impor. Ketiga, pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30%. Keempat, restitusi PPN dipercepat untuk eksportir (tanpa batasan) dan noneksportir (nilai restitusi paling banyak Rp5 miliar).


Penerima insentif PPh Pasal 21 DTP adalah sektor manufaktur (440 klasifikasi lapangan usaha/KLU) dan perusahaan KITE. Sementara, tiga insentif lainnya bisa dinikmati oleh sektor manufaktur (102 KLU) dan perusahaan KITE. Dalam perkembangannya, penerima insentif akan diperluas ke 11 sektor usaha lainnya.


Perpu 1/2020
Kemudian, ada sejumlah kebijakan pajak dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.


Dalam beleid yang diundangkan dan berlaku mulai 31 Maret 2020 tersebut, setidaknya ada 3 kebijakan yang terkait dengan Ditjen Pajak (DJP). Ketiganya menjadi bagian dari kebijakan keuangan negara untuk penanganan dan penanggulangan Covid-19 serta mendorong stimulus perekonomian.


Pertama, penurunan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22% (2020 dan 2021) dan 20% (2022 dan seterusnya). Selain itu, ada pengurangan tarif 3 poin persentase lebih rendah bagi wajib pajak badan yang go public. Kedua, pemajakan atas transaksi elektronik.


Ketiga, perpanjangan jangka waktu permohonan atau penyelesaian administrasi perpajakan. Terkait kebijakan ini, Dirjen Pajak sudah menerbitkan SE Dirjen Pajak No.SE-22/PJ/2020. Selain tiga kebijakan tersebut, ada pula fasilitas kepabeanan – domain dari Ditjen Bea dan Cukai – yang juga diberikan.


PMK 28/2020
Tidak hanya berkaitan dengan stimulus perekonomian, pemerintah kemudian menggunakan instrumen pajak untuk mendukung ketersediaan obat-obatan, alat kesehatan, dan alat pendukung lainnya yang dibutuhkan dalam penanganan wabah virus Corona.


Dukungan itu diwujudkan dalam bentuk pemberian insentif atau fasilitas kepada badan/instansi pemerintah, rumah sakit, atau pihak lain yang ditunjuk untuk membantu penanganan pandemi Covid-19. Fasilitas diberikan terkait dengan barang dan jasa.


Ketentuan fasilitas ini ada dalam PMK No.28/PMK.03/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pajak terhadap Barang dan Jasa yang Diperlukan Dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019. Beleid ini berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu 6 April 2020.


Ada sejumlah insentif pajak yang diberikan. Pertama, PPN tidak dipungut atau ditanggung pemerintah. Kedua, pembebasan PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 22 Impor. Ketiga, pembebasan PPh Pasal 21. Ketiga, pembebasan PPh Pasal 23.


Kemudian, masih terkait dengan barang yang dibutuhkan dalam penanganan pandemi Covid-19, pemerintah mengeluarkan beleid baru untuk memastikan percepatan pelayanan dalam pemberian fasilitas – seperti tidak dipungut PPN dan pembebasan PPh Pasal 22 – atas impor barang.


Beleid berupa PMK No.34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan atas Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Beleid ini diundangkan dan mulai berlaku pada 17 April 2020.


Dari sejumlah insentif dan kebijakan pajak yang diambil, mayoritas menitikberatkan pada fungsi regulerend ketimbang budgeter. Langkah ini ditempuh untuk menghadapi kondisi ekonomi yang tidak mudah akibat Covid-19.


Tidak mengherankan jika melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No.54/2020, target penerimaan pajak dalam postur APBN Perubahan 2020 turun 23,65% dari target induk. Target yang baru ini mengalami penurunan 5,9% dibandingkan realisasi tahun lalu senilai Rp1.332,1 triliun.


Alhasil, dengan kebutuhan belanja yang masih cukup tinggi, termasuk untuk anggaran penanganan pandemic Covid-19, defisit anggaran dipatok melebar menjadi 5,07% terhadap produk domestik bruto (PDB). Simak artikel ‘APBN Perubahan 2020, Penerimaan Pajak Turun 23,65% dari Target Awal’.


Dari sini bisa terlihat pajak memainkan peran sangat krusial, baik dari fungsi regulerend maupun budgeter. Dalam konteks pemberian insentif dan sejumlah relaksasi, pemerintah telah menggunakan instrumen pajak untuk menstimulus perekonomian secara langsung. Jadi, bukan menggunakannya untuk menjadi sumber penerimaan yang akhirnya dibelanjakan oleh negara.


Di sisi lain, pemerintah tetap ingin mengoptimalkan potensi yang masih bisa digarap. Salah satunya adalah mengenalkan pemajakan atas transaksi elektronik dalam Perpu 1/2020.


Pada saat yang sama, pemerintah juga terus memberikan relaksasi dari sisi administrasi agar pemenuhan kewajiban wajib pajak tetap bisa dilakukan. Bagaimanapun, negara tetap harus hadir lewat alokasi anggaran yang prioritas untuk menghadapi pandemi Covid-19.


Kondisi ini semakin mengamini ungkapan Frederick the Great, raja Prusia abad ke-18, “Tidak ada pemerintah yang dapat eksis tanpa pajak, yang harus dikenakan terhadap masyarakat dan seninya adalah mengenakan pajak tanpa menekan.”

 

Sumber tulisan https://news.ddtc.co.id/ini-peran-pajak-untuk-ketahanan-ekonomi-indonesia-dalam-masa-covid-19-20387?page_y=9.5