Muhammad Hatta lahir di rumah kakeknya dari pihak ibu, Ilyas Bagindo Marah (seorang pedagang sukses di Bukittinggi), yang terletak di Aur Tanjungkang, Bukittingi, Sumatera Barat. Ia lahir pada hari Selasa tanggal 12 Agustus 1902. Hatta lahir di rumah besar bertingkat dua yang terbuat dari papan dan beratap seng. Di belakang rumah terdapat sebuah sebat atau kolam yang berisikan ikan kaluih, semacam gurami.
Di tepi pekarangan, dari sebelah kiri sampai ke belakang terdapat kandang kuda yang dapat memuat sampai 18 ekor kuda. Ayahnya bernama Muhammad Jamil dan Ibu nya bernama Siti Saleha. Ayahnya, H. Muhammad Jamil, berasal dari Batuhampar, dekat Kota Payakumbuh. Dari pihak ayah, Hatta merupakan generasi ke-3 keturunan ulama tarekat yang terkenal pada zamannya, Syekh Abdurrahman yang berasal dari Batuhampar. Paman Hatta dari ayahnya, Syekh Arsyad, merupakan anak dari Syekh Abdurrahman yang menurunkan pengajaran ilmu agama dan menjadi seorang guru agama yang terkenal di sana.
Muhammad Hatta memiliki nama lahir Muhammad Athar. Diberi nama Muhammad Athar merujuk pada nama Nabi/Rosul terakhir pada agama Islam yaitu Muhammad, dan Athar (berasal dari bahasa Arab) yang artinya harum. Muhammad Athar merupakan anak ke-2 dari pasangan Siti Saleha dan Muhammad Jamil (anak pertamanya ialah Rafi’ah yang lahir pada tahun 1900). Belakangan, setelah ia mulai dapat berbicara, ia tidak dapat menyebut namanya “Athar” sehingga sebutan “Athar” berganti menjadi “Hatta”. Pada usia 7 bulan, ayahnya meninggal dunia. Kemudian, ibunya menikah lagi dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang asal Palembang. Pernikahan Siti Saleha dengan Mas Agus Haji Ning dikaruniai 4 orang anak perempuan. Meskipun berstatus anak tiri, Hatta dan Rafi’ah juga mendapat kasih sayang yang sama seperti anak kandung Mas Agus Haji Ning lainnya. Sehingga Hatta pun sempat mengira bahwa Mas Agus Haji Ning lah ayah kandungnya.
- Mohammad Hatta Memasuki Sekolah
Selain menyerap segala ilmu pengetahuan di pendidikan formal, Hatta juga mempelajari ilmu-ilmu agama, berhubung keluarganya merupakan keluarga yang taat beragama. Syekh Arsyad, paman Hatta dari pihak ayahnya, menginginkan Hatta dapat menjadi ulama di kemudian hari. Namun pihak ibunya tidak setuju, mereka ingin Hatta belajar di sekolah umum. Kakek dari pihak ibu dan kakek dari pihak ayah akhirnya mencapai kesepakatan. Rencananya, Hatta akan dimasukkan ke Sekolah Rakyat lebih dahulu, setelah tamat akan dibawa ke Mekah untuk belajar agama dan meneruskan ke Kairo Paman Arsyad selalu mengenakan sorban dan jubah. Selain mengajar agama di sekolah, di rumah, waktunya banyak terpakai untuk menerima tamu yang rata-rata datang dari jauh, yang sengaja datang untuk meminta petunjuk tentang agama dan masalah-masalah lainnya. Hatta mengagumi Paman Arsyad, ia terpesona melihat koleksi buku Arsyad yang sangat banyak, semua ditulis dengan bahasa Arab. Ia pun memiliki keinginan untuk menjadi ulama.
Ketika berusia lima tahun, Hatta direncanakan masuk ke Sekolah Rakyat. Namun ternyata usianya dianggap belum memenuhi syarat. Saat itu, minimal usia 6 tahun yang dapat bersekolah di Sekolah Rakyat. Hatta tidak dapat menyentuh telinga kirinya menggunakan tangan kanan melingkar di atas kepala, dari situ dapat diketahui bahwa usia Hatta masih di bawah 6 tahun. Akhirnya Pak Ilyas, kakek Hatta dari pihak ibu, memasukkan Hatta ke Sekolah Swasta milik kenalannya, bekas anggota tentara Belanda, namanya Mr. Lederboer. Sekolah Swasta yang dimaksud adalh sekolah yang dikelola per-orangan. Di sana, ia belajar bahasa Belanda. Sore harinya, ia belajar menulis dan membaca dari pamannya yang merupakan adik ibunya, Paman Saleh. Selepas maghrib, Hatta pergi mengaji ke Surau Inyik Jambek. Teman mengaji Hatta, rata-rata tidak bersekolah di pagi harinya. Mereka kebanyakan membantu orang tuanya di sawah atau menggembala kerbau. Di surau, anak-anak diajari mengaji dengan berlagu. Hatta cepat belajar mengenal huruf Arab, cepat pula pandai membaca Juz Amma, tetapi dalam berlagu, ia tidak pandai.
Hanya enam bulan Hatta belajar di sekolah swasta. Engku Guru Thalib mengabari Pak Ilyas bahwa di kelas 1 Sekolah Rakyat banyak kursi yang tersedia. Karena usia Hatta sudah genap enam tahun, Hatta pun segera masuk kelas 1 Sekolah Rakyat. Hatta menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu Paripat, Bukittinggi. Di kelas, Hatta terbelakang dalam pelajaran berhitung. Kakaknya, Rafi’ah, dengan tekun membantu Hatta belajar berhitung. Karena Hatta sudah mampu membaca dan menulis dengan lancar, setelah empat bulan sekolah, ia dinaikkan ke kelas dua sehingga dapat satu kelas dengan kakaknya, Rafi’ah. Sore harinya, ia masih melanjutkan belajar Bahasa Belanda. Kali ini ia diajar oleh seorang guru berkebangsaan Belanda bernama Mr.Jansen.
Dua tahun bersekolah di Sekolah Rakyat, Hatta dipindahkan ke Sekolah Belanda, ELS (Europese Lagere School). Awalnya ia menolak karena sudah merasa cocok dengan teman-temannya di Sekolah Rakyat. Atas bujukan Mr.Jansen dan Paman Saleh, akhirnya Hatta mau juga pindah ke ELS. Tidak banyak anak Indonesia yang belajar di ELS. Di ELS, hanya anak pegawai pemerintah dan orang kaya saja yang diterima. Di ELS, Hatta diterima di kelas dua. Pagi hari Hatta belajar di ELS, sorenya belajar bahasa Belanda, sesudah maghrib belajar mengaji di surau. Hatta dapat mengatur waktu dengan baik karena dukungan keluarganya. Ketika Pak Ilyas akan menunaikan ibadah haji ke Mekah, ia bermaksud membawa Hatta. Namun ternyata Paman Idris (pamannya dari pihak ibu) dan Ibu Hatta tidak setuju, dengan alasan Hatta masih terlalu kecil dan Hatta pun belum menamatkan Al-Qur’an. Hatta menamatkan pendidikan di ELS pada tahun 1916 di Kota Padang. Ia ingin melanjutkan ke Hogere Burger School, HBS, namun HBS tidak ada di Sumatera Barat, adanya di Jakarta. Ibunya tidak mengizinkan ia pergi ke Jakarta, jadi ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, MULO, di Kota Padang.
Mulanya Hatta tidak mau masuk MULO. Ia betul-betul ingin melanjutkan sekolah di HBS di Jakarta. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk memilih bekerja saja ketimbang sekolah. Tapi pamannya membujuk agar Hatta menuruti ibunya untuk melanjutkan sekolah ke MULO, ia pun menurut. Maksud ibunya melarang bukan tanpa alasan, ibunya takut jika Hatta ke Jakarta, Hatta akan terpengaruh dengan pergaulan kota besar dan lupa dengan agamanya. Di MULO, Hatta mendapat pelajaran sejarah, yang mampu menumbuhkan pemahamannya terhadap nilai-nilai kebangsaan. Ditambah lagi, pada tahun 1918 datang Nazir Datuk Pamontjak dari Jakarta ke Padang. Ia merupakan salah seorang dari beberapa orang Indonesia yang telah lulus HBS di Jakarta. Dengan bantuan Marah Sutan (sekretaris persatuan sosial di Padang yang bernama “Sarekat Usaha”), Nazir Datuk Pamontjak dapat menyelenggarakan rapat dengan para pelajar sekolah-sekolah menengah di Padang dan Bukittinggi. Hatta hadir pada rapat tersebut. Pada rapat itu, Nazir Datuk Pamontjak menyadarkan pelajar Sumatera pentingnya wadah pemersatu bagi pemuda Sumatera Barat.
Setelah lima tahun tidak lagi belajar agama, Hatta dan kawan-kawan mulai lagi belajar agama pada Haji Abdullah Ahmad. Abdullah Ahmad merupakan guru agama di sekolah yang didirikan oleh Sarekat Usaha. Dari situlah Hatta mengenal Sarekat Usaha dan mengenal Engku Thaher Marah Sutan (sekretaris Sarekat Usaha). Melalui Thaher Marah Sutan, Hatta mulai mengenal surat kabar “Utusan Hindia” yang dipimpin Abdul Muis. Sejak itulah Hatta mulai mengenal dan tertarik pada dunia politik. Ia mulai sering menghadiri pertemuan-pertemuan para tokoh dan pemuka Sarekat Usaha yang seringkali membicarakan kehidupan politik. Pandangan sosial Hatta semakin luas lagi dengan datangnya Abdul Muis (tokoh Sjarikat Islam) ke Padang. Abdul Muis menyampaikan beberapa pidato di beberapa kesempatan mengenai “rodi”. Menurut Hatta, Abdul Muis merupakan seorang ahli pidato yang hebat. Abdul Muis mampu menyadarkan Hatta bahwa rodi merupakan suatu sistem yang buruk, yang pada awalnya Hatta mengira rodi merupakan bagian dari lembaga adat semata. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond. Beberapa waktu setelah masuk menjadi anggota Jong Sumatranen Bond, ia dipercaya sebagai bendahara. Hatta pernah tergabung dengan klub sepak bola bernama Swallow ketika sekolah di Padang Setelah menamatkan studi di MULO, Hatta melanjutkan pendidikannya ke Jakarta dengan mendapatka restu dari ibunya.
Sumber http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/muspres/masa-kecil-mohammad-hatta-1/